Sabtu, 30 Januari 2016

Bersama Angin (cerpen)

Bersama Angin

Sore itu, aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Dengan langkah gontai aku keluar dari gedung bercat putih pucat itu. Sejak keluar dari pintu tadi, mataku terus melihat ke sekelilingnya yang baru aku sadari ternyata begitu padat dengan kendaraan. Tak seperti biasanya.

Aku mencari seseorang. Iya, seseorang yang kata Ibuku sudah meminta izin untuk menjemputku hari ini pada beliau. Aku sedikit tersenyum saat membaca pesan dari Ibuku tadi. Ternyata dia masih sama.

Aku berhenti sejenak sambil merapikan cardigan yang sempat tertiup angin. Kembali kulihat sekelilingnya. Dan itu Dia. Ya, Dia. Dia yang selama beberapa bulan lalu menjadi warna baru dalam kehidupanku. Dia yang selalu membuatku merindu. Dia yang sempat memiliki hatiku. Dan juga, Dia yang beberapa minggu lalu kupatahkan harapannya untuk hidup bersamaku.

Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya, lantas mempercepat langkah untuk menghampirinya.

"Hai. Udah lama?"

Dia menggeleng.

"Nggak terlalu." Aku mengangguk sambil memainkan ujung cardiganku.

"Pulang sekarang?" Tanyanya. Aku kembali mengangguk sambil menaiki motor merahnya. Seperti biasa, dia akan melirikku sebentar untuk memastikan aku sudah duduk dengan benar. Tak lama, kami pun meninggalkan tempat itu dan siap membelah jalanan yang cukup padat sore itu.

Untuk beberapa lama, tak ada satu pun kata yang terlontar, baik darinya atau pun dari mulutku sendiri. Aku cukup bingung untuk memulai obrolan. Dan dia tahu pasti, pasalnya aku memang tak pandai untuk membuka suatu obrolan. Akhirnya dia berdeham memecah kediaman itu.

Aku yang saat itu tengah memejamkan mata menikmati angin yang menerpa wajah lelahku langsung membuka mata. Aku bisa melihat dia melirikku lewat spion kirinya.

"Mau langsung pulang?" Tanyanya.

Jujur. Aku sedikit menahan senyum saat ia bertanya seperti itu. Kenapa kedengarannya seperti supir pribadi?

"Iya." Jawabku sambil mengangguk.

"Cape ya?"

"Sedikit."

"Yaudah. Nanti pulang langsung istirahat. Jangan tidur malem-malem."

Mendengar nada lembutnya seperti tadi, kenapa rasanya ada yang sakit disini.

"Iya."

Dia mengangguk lalu tersenyum. Dan keadaan kembali seperti beberapa saat sebelumnya. Hanya suara bising kendaraan di sisi kanan-kiri juga hembusan angin yang terasa begitu kencang yang terdengar.

"Emm..kak?" Tanyaku ragu. Aku sengaja memelankan suaraku saat menyebut kata sapaan itu.

Kata sapaan yang sempat terganti dengan kata lain saat kami masih 'bersama' itu, dulu sempat membuat aku dan dia terlibat dalam sebuah pertengkaran kecil. Menurutnya, kembalinya sapaan itu seakan memperjelas hubungan yang telah berakhir itu. Seolah menjelaskan bahwa kata 'kita' itu kini kembali menjadi 'aku' dan 'kamu'. Dan aku memang lebih suka kata itu. Rasanya lebih pantas untuk hubungan aku dan dia. Setidaknya menurutku.

"Kenapa?" Tanyanya. Bukannya aku tak tahu, aku sempat mendengarnya menghela nafas sebelum bertanya.

"Apa gak ngerepotin kakak jemput aku?"

"Nggak. Kakak dari rumah temen yang kebetulan deket sama tempat kamu kerja. Jadi sekalian aja."

Aku mengangguk. "Makasih ya."

Dia hanya tertawa. Sungguh. Aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Mendengar tawanya diantara hembusan angin berlatar langit yang memerah.

Beberapa kali aku memejamkan mata sambil tersenyum. Aku tahu dia pasti menertawakan tingkahku yang pasti terlihat dari spionnya. Tapi tak apalah.

"Kamu seneng banget kayaknya?" Dia sedikit menoleh kebelakang.

Aku terkekeh. Malu tepatnya.

"Kamu sayang sama kakak?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku tak ingin memberinya harapan palsu dengan menjawab 'iya'. Tapi..

"Huh?"

Ternyata dia masih menunggu jawabanku.

"Iya."

"Iya apa?"

"Iya..sayang." Jawabku pelan.

"Kalo sayang kenapa gak ma.."

"Tapi sebagai kakak." Aku memotong ucapannya dengan cepat.

Dia terdiam. Tak melanjutkan ucapannya. Aku merasakan pundaknya yang kini aku jadikan pegangan sekidit turun seiring terdengarnya helaan nafas lelah dari mulutnya.

"Aku memang sayang sama kakak. Tapi sebagai seorang adik pada kakaknya."

Aku memejamkan mata sejenak.

"Sejak kenal kakak, aku merasa punya pelindung."

Tak peduli dia yang masih saja diam, aku tetap berbicara. Aku tak peduli jika dia heran kenapa aku jadi sebawel ini. Aku tak peduli dia tak suka dengan apa yang kubicarakan. Yang jelas aku tahu, dia mendengarkanku.

"Untuk itu aku gak pernah mau saat kakak minta aku untuk jadi pacar kakak lagi."

Dan kali ini ia kembali bersuara.

"Lalu dulu kenapa kamu mau?"

"Iya. Aku memang mau. Tapi akhirnya aku sadar, semua itu bukan karena cinta."

"Jadi kamu cuma nyoba. Kamu tega putusin semuanya. Apa kamu gak mikirin aku?"

Aku menggigit bibir. Menahan emosi yang berupa air mata itu untuk tidak jatuh.

Aku menggeleng.

"Justru aku mikirin kamu. Aku gak mau nyakitin kamu lebih lama."

"Maaf." Lirihku.

Aku diam.

Dia diam.

Satu hal yang aku tahu saat ini. Semua memang sudah berakhir. Sekarang semuanya berbeda. Dan aku ingin dia juga tahu itu.

Angin kembali memenangkan suasana sore itu. Keheningan juga melayangnya pikiranku -dan mungkin dia- terus mengisi sisa perjalanan kami. Hingga akhirnya motor itu berhenti.

Ibuku yang sempat menyambut kami didepan pintu telah kembali masuk setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih dan sedikit berbincang dengannya. Dan kini kembali tinggal hanya aku dan dia.

Ia menatapku dalam diam. Aku sempat membalas tatapan itu sejenak. Mungkin hanya beberapa detik. Karena selanjutnya aku lebih memilih untuk menunduk menatap ujung sepatu pink-ku.

"Kakak pulang dulu ya."

Aku memejamkan mataku saat aku merasakan dengan jelas ia mengelus puncak kepalaku pelan. Kebiasaan itu?

Aku mengangguk sambil mencoba menatap wajahnya. Dia tersenyum.

"Makasih kak."

Masih dengan senyumnya ia mengangguk.

"Iya. Sama-sama...Dek."

Aku tersentak.

Dek?

Kenapa aku merasa satu organ terpeka dalam tubuhku seperti dicubit mendengar ia memanggilku 'Dek'? Bukankah itu yang aku mau?

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Mengamatinya hingga ia tak lagi terlihat dari pandanganku. Aku mendesah. Ternyata benar. Dia memang sudah menjauh. Sangat jauh.

Sore itu. Semua cerita. Semua kenangan. Semua mimpi dan harapan. Perlahan menjauh. Hilang. Bersama angin.

***

The first story by QueenFitri :) thanks for reading and give your comment please :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar