Rabu, 02 Maret 2016

Lelah

Dia bukan matahari. Yang setiap harinya menyinari bumi tanpa lelah. Tanpa berharap ia kembali disinari. Meski kadang sinarnya tak lagi begitu terang terhalang awan hitam.

Ia hanya gadis biasa. Yang hatinya punya sisi egois untuk ingin menjadi satu-satunya yang dilihat. Yang sebagian hatinya sangat rapuh diterpa luka.

***

Aku menghentikan langkahku. Sebuah gedung besar berwarna putih memenuhi pandanganku. Lalu lalang orang tak lagi kuhiraukan. Tak peduli meski kini aku berdiri diam menghalangi jalan. Yang aku tahu, di dalam sana ada seseorang yang sangat ingin kutemui.

Putaran kejadian-kejadian di waktu yang telah berlalu seakan menjadi sebuah lorong yang terus kulalui seiring langkahku yang semakin cepat. Gemuruh emosi yang seakan siap meledak sebisa mungkin kutahan. Membuat nafasku sedikit memburu.

***

Seperti biasa, setiap pagi sebelum memasuki kelas, tepatnya disebuah pintu didekat tangga aku akan berhenti cukup lama. Untuk apa? Itu adalah kelas Rio. Pemuda yang berhasil merebut hatiku sejak pertama kali kita bertemu. Tepatnya sejak 3 tahun yang lalu.

Aku melongokkan kepalaku diambang pintu yang terbuka itu. Dapat kulihat dibangkunya yang berada dibarisan kedua sebuah tas hitam tersimpan disana. Dia sudah datang.

Aku tersenyum. Meski kadang Sivia -sahabatku- sering sekali mengomeliku akan kebiasaan yang menurutnya kurang kerjaan itu, tapi aku tetap melakukannya. Setiap hari. Setidaknya aku tahu, dia ada disekolah. Bukan apa-apa, meski Rio selalu mengabari lewat sms atau telpon, menurutku tidak ada salahnya kan membuktikannya langsung.

Bukannya aku tidak percaya Rio. Tapi dengan begitu setidaknya aku bisa lebih meyakinkan diriku sendiri kalau dia ada.

"Ah."

Aku tersentak kaget saat membalikkan badanku. Seseorang tengah menatapku jengah. Tangannya yang terlipat di dada juga gelengan kepalanya, aku sudah tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Ify..ify.. bener-bener kurang kerjaan ya lo."

Tuh kan.

***

Pintunya sudah terlihat. Tapi apa yang kulakukan? Aku malah memelankan langkah kakiku.

***

"Rio hubungin lo?"

Aku menggeleng sambil terus mengamati setiap pergerakan seseorang dibawah sana yang tengah menggiring bola. Rio.

Sivia mendesah pelan.

"Tuh anak maunya apa sih?"

"Mungkin sibuk."

Sivia menatapku tak percaya.

"Apa? Sibuk?"

Sudah berhari-hari ini Rio tak memberi kabar. Setiap pagi, aku juga tak menemukannya dikelasnya. Biasanya, kalau tak bertemu di pagi hari, jam istirahat dia akan memintaku menemuinya di kantin. Tapi akhir-akhir ini, tidak sama sekali.

Sivia berkali-kali menyuruhku menemui Rio dikelasnya. Namun aku menolak. Seperti yang kubilang tadi, mungkin saja dia sedang sibuk.

"Kalo si Alvin kayak gitu, udah gue susulin tuh ke rumahnya."

"Itu kan lo."

Aku masih mengamati Rio. Gerakan lincahnya, wajah seriusnya, juga tawa bangganya saat ia berhasil memasukkan bola ke gawang, sungguh pemandangan yang tak pernah bosan kulihat.

"Samperin gih."

"Yes. Masuk."

Sivia membulatkan matanya sambil menggeleng. Ditepuknya kening berponi itu dengan cukup keras.

***

Aku sudah berdiri tepat didepan pintu bertuliskan tiga deret angka yang sama sekali tak penting untuk kulihat saat ini.

Aku memegang handle pintu yang terasa dingin itu. Lalu melepasnya lagi.

***

"Eh lo tau gak, si Rio kemaren jalan sama Dea."

"Udah putus ya sama Ify?"

"Mungkin. Tapi cocok deh."

Aku terdiam. Kulirik dua anak tadi yang langsung saja memilih pergi saat aku menghentikan langkahku didekat mereka.

Dea?

**

"Dea itu adik kelas kita yang sempat jadi junior lo di ekskul drama kan?"

Aku mengangguk.

Sungguh. Aku tak bercerita apapun yang kudengar tadi pada siapa pun. Tapi Sivia tiba-tiba saja menanyakan hal -yang juga masih kupertanyakan- itu. Dengan hebohnya dia menarikku keluar kelas dan mulai mengintrogasi.

"Kok lo diem aja?"

"Emang gue harus apa? Mungkin aja kebetulan ketemu."

Sivia memijat keningnya pelan.

"Lo tuh..."

"Vi, gak usah mikir yang nggak-nggak dulu sebelum lo liat langsung dan tau yang sebenarnya."

"Terserah deh." Ujar Sivia pelan.

Perlahan dia merangkulku, mengajakku kembali masuk kelas.

***

Aku terduduk dibangku tunggu. Memastikan hatiku sekali lagi. Menguatkan agar segala emosi tak menguasaiku.

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Sementara aku masih menunggu Sivia yang masih membereskan tasnya di dalam.

Kusandarkan punggungku pada pagar pembatas koridor. Sambil sesekali mengusap keringat yang jatuh didahiku. Aku memutar badanku menghadap kelapangan dibawah sana yang ramai dengan mereka yang bersiap pulang. Tak lama Sivia keluar.

"Yuk, Fy."

Aku mengangguk lalu mengekor Sivia yang berjalan didepanku.

Mataku tak henti mengamati lapangan dibawah sana. Siapa tahu ada Rio. Ya. Dia masih belum menghubungiku. Malah kini setiap pagi tasnya pun tak terlihat dimejanya.

Aku kembali mengusap keningku. Namun pergerakanku tertahan saat mataku menangkap seseorang yang kucari tengah berjalan dibawah sana. Dia tidak sendiri. Dia bersama seorang gadis.

Aku menyipitkan mataku. Langkahku terhenti. Nafasku memburu. Tanganku mendingin. Itu Rio, bersama... Dea.

Sivia yang menyadari aku tak lagi mengikutinya lantas kembali.

"Ada apa?"

Aku diam. Masih menatap dua anak itu yang tengah tertawa. Dan, apa itu? Dea tersipu malu. Apa yang Rio katakan?

"Fy?"

Sivia mengerutkan kening lalu mengikuti arah pandangku. Dia menghela nafas.

"Udah. Kita pulang ya." Ajaknya sambil mengelus bahuku.

"Ternyata benar, Vi."

***

Aku menunduk. Mengingat semuanya. Ya, semua. Tentang rasa sakit yang tak pernah Rio tahu.

***
"Emang iya?"

"Wah. Parah ya si Dea."

"Lo gak tau sih.."

Aku mengerutkan kening saat melewati koridor sekolah. Ada apa sih?

Aku menghampiri Sivia yang sepertinya baru saja tiba dikelas.

"Vi..."

Sivia membalikkan badannya sebelum aku meneruskan perkataanku.

"Ify lo gak apa-apa?"

Aku semakin mengerutkan kening. Ada apa sih dengan semua orang pagi ini?

Aku menggeleng.

"Syukurlah."

"Emang ada apa sih? Tadi di depan, anak-anak pada ngomongin Dea. Emang Dea kenapa?"

"Ng..nggak kok. Yuk duduk."

Aku berdecak. Aneh.

"IFYYY..."

Baru saja aku berniat duduk, Zahra memanggilku dengan suara khasnya.

"Ada apa?"

"Lo tau gak?" Tanyanya sambil duduk di kursi didepanku. Aku mengerutkan kening. Aku melirik Sivia yang menunduk.

"Si Rio, Fy. Rio pacar lo."

Rio? Rio kenapa?

"Lo tau, Rio masuk rumah sakit gara-gara berantem sama Sion."

Apa?

"Dan lo tau karena apa? Karena Dea. Mereka ngerebutin si Dea."

Aku diam. Apa yang harus aku rasakan saat ini? Marah? Sedih? Atau apa?

Aku melirik Sivia yang masih saja menunduk.

"Lo..udah tau kan, Vi?" Tanyaku dengan gemetar.

Bayangkan jika orang yang kamu sayangi terluka. Meski karena wanita lain, tapi apa hatimu sanggup marah?

"Maaf."

Aku memejamkan mataku. Mengusir sesak yang kian terasa.

"Ke..kenapa lo gak bilang?"

Sivia tak menjawab. Dia memelukku erat. Lama sekali hingga yang kudengar adalah isakan kecil penuh sesal.

"Gue gak mau lo terluka."

Bahkan bukan Rio yang menjaga hatiku saat ini. Malah dia sendiri, orang yang kujaga hatinya, yang melukai hatiku.

***

"Bukan sekali dua kali aku mendengarnya, Yo." Lirihku sambil menatap pintu putih didepanku.

Aku menunduk sambil memijat pelan keningku. Apa yang harus ku katakan nanti saat bertemu Rio? Haruskah aku kembali bertahan? Atau...menyerah?

***

Sivia memegang bahuku yang terasa lemas. Tidak. Aku tidak menangis. Tangisanku tadi sudah kuhapus segera setelah aku sadar bahwa tangisan itu tak akan ada artinya. Aku memang sedih, buat apa aku menangis?

"Lo..."

"Gue baik-baik aja, Vi."

Sivia menghela nafas. Mungkin dia lelah menghadapi sifatku ini. Tapi kembali lagi, setiap orang punya pegangan tersendiri didalam hatinya. Dan mungkin ini adalah peganganku. Percaya.

"Lo berhak marah, Fy." Ujarnya pelan.

Aku menoleh sambil tersenyum tipis.

"Marah? Buat apa?"

Aku sendiri bingung. Kenapa rasanya sulit?

Sivia menarik tanganku agar aku menghadapnya. Ia tersenyum.

"Kalo lo mau, lo bisa pergi sekarang buat nemuin Rio."

Aku mengerutkan kening.

"Lo gak bakal bisa belajar dengan keadaan kayak gini kan?"

Aku menghela nafas. Mungkin benar. Aku harus pergi menemui Rio. Walaupun aku tak tahu harus apa nanti didepannya.

Aku mengambil tasku lalu beranjak dari tempat dudukku. Sivia mengantarku hingga sebuah taksi berhenti tepat didepanku. Aku kembali menatap Sivia. Aku bisa lihat dia mengangguk meyakinkanku.

Dan dengan pasti, aku pergi. Menemui dia yang kalah dalam pertarungan memperebutkan seorang putri. Ya. Putri yang baru.

***

Aku memejamkan mata saat pintu yang kudorong pelan itu sedikit berdecit. Membuat seseorang yang tengah berbaring disana menoleh dan tersenyum.

"Fy.."

Aku tersenyum sambil melangkah mendekatinya.

"Gimana? Udah baikkan?"

Rio tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Aku menggeser kursi disebelah ranjang Rio agar lebih dekat lalu kududuki.

Kuamati sosok pemuda dihadapanku yang entah kenapa terasa seperti bukan lagi Rio yang ku kenal. Lebam diwajahnya juga perban dipergelangan tangan kirinya membuat aku merasa..bodoh. Seakan semua benda diruangan ini seolah menertawakanku. Lihatlah bahkan Rio rela terluka demi gadis lain, bukan untukku. Gadisnya.

Aku menunduk.

Bukan. Bukannya aku ingin Rio terluka demi membelaku. Aku hanya ingin Rio melihat ke arahku saja. Paling tidak untuk saat ini. Saat aku masih terikat oleh permintaannya 3 tahun lalu.

"Fy?"

Aku mendongak. Sejenak kuatur kembali emosiku.

"Aku min.."

"Kamu belum makan kan? Makan dulu ya."

Dengan cepat aku memotong ucapan Rio. Aku tahu pasti apa yang akan ia katakan. Dan itu bukan kata yang aku ingin dengar saat ini.

Aku mengambil semangkuk bubur di meja samping ranjang Rio. Setelah membantu Rio duduk, segera aku menyuapinya.

Beberapa suapan berlalu tanpa ada yang bersuara. Rio diam. Aku diam. Dan Rio pasti tahu, diamnya aku bukan tanpa alasan.

"Mana dia?" Tanyaku membuat Rio sedikit tersentak.

"Mungkin dia lagi merasa terbang ya sekarang." Lanjutku diikuti tawa hambar.

Aku tahu Rio saat ini tengah menatapku. Tapi aku lebih memilih menatap bubur ditanganku sambil sesekali mengaduknya.

"Bahkan dia menghilang sekarang." Aku menghela nafas.

Aku menyodorkan kembali sesendok bubur pada Rio yang kali ini ia balas dengan gelengan kepala.

"Sekali lagi."

"Udah kenyang, Fy."

Aku mendesah. Alasan.

Tanpa sadar aku sedikit membanting sendok yang kupegang sambil menaruh kembali mangkuk tersebut ke meja.

Aku melipat tanganku didepan dada sambil memalingkan wajah ke arah mana saja asal bukan ke arah Rio.

"Maafin aku."

Aku memejamkan mata.

"Aku salah. Sangat salah."

Dari nadanya saja aku tahu, dia bersungguh-sungguh. Tapi tetap saja, aku terluka. Aku menunduk.

Tanpa bisa kutahan lagi, aku menangis. Isakan kecil mulai jadi latar ruangan berbau obat ini.

"Bisa gak..kamu nggak mengiyakan semuanya?" Tanyaku dengan suara bergetar.

"Bukan sekali dua kali aku dengar, Yo."

Aku memberanikan diri menatap Rio walau pandanganku kini berkabut. Dari pancaran matanya aku lihat penyesalan itu ada. Tapi apa arti sebuah penyesalan?

Meski sebagian hatiku menyayanginya, sebagian lagi terlanjur hancur karenanya.

"Aku nyesel, Fy. Maafin aku." Ujar Rio. Kali ini sambil menarik lembut tanganku. Dan entah dorongan dari mana, aku menepisnya. Membuat Rio menghela nafas.

"Aku capek, Yo."

Rio membulatkan matanya.

"Aku capek kalo harus bertahan lagi."

"Fy..."

"Makasih buat semuanya, Yo."

"Tapi Fy.. maafin aku.."

Tanpa menatapnya lagi aku segera berdiri. Meski sebagian hatiku memaksa untuk menatapnya, aku tetap pada pilihanku. Aku pergi.

"Fy.." panggil Rio lagi saat aku hampir diambang pintu. Tangisku kembali luruh.

"Ify..aww.."

Aku tersentak. Aku menoleh mendapati Rio yang tengah kesakitan memegang lengannya. Aku hampir kembali berlari menghampirinya. Namun sekali lagi aku menegaskan, aku pergi.

"If.."

Aku sedikit kaget saat keluar dari ruangan Rio dan mendapati seorang gadis menatapku lekat. Dia Shilla, kakak Rio.

"Ify? Kenapa?" Tanyanya.

Ditanya begitu tangisku semakin menjadi. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung memeluknya. Menumpahkan segala kesedihan juga kekecewaanku pada gadis yang sudah kuanggap kakakku sendiri itu.

Mendengar isakanku yang semakin menjadi, Shilla segera mengelus punggungku. Dan yang baru aku sadari, bahu Shilla juga sedikit berguncang.

"Maafin Rio, Fy .."

***

Aku hanya ingin kau menyangkalnya. Setidaknya aku tahu, kemungkinan itu masih ada. Tapi apa yang kau lakukan? Kau membenarkannya.

Aku hanya ingin sisi egoisku terpenuhi meski sebentar saja. Setidaknya saat kau masih jadi milikku.

Maaf? Jauh sebelum kata itu kau ucap, aku sudah memaafkanmu. Bagiku, kata maaf sama sekali tidak sulit. Apalagi untuk orang yang kusayang sepertimu.

Namun kali ini, cukup sampai disini. Karena aku sudah lelah.

***QF***

Halooo.. ketemu lagi sama tulisan isengku..hhe maaf kalo cerita, alur, atau bahasanya agak gimana gitu ya, maklum saja lah ya namanya juga iseng.. :v cerpen ini aku post di fb juga lho..

Tapi buat kalian yg gak sengaja nemu tulisan aku ini, jangan lupa baca dulu ya..hhe abis itu mampir deh di kolom komentar di bawah.

Oke see you in other story guys, keep reading !!