Senin, 26 Februari 2018

Iqbaal Ramadhan dan Film Dilan 1990


Assalamualaikum..

Dalam rangka rindu nge-blog, hari ini aku mau cerita sama kalian yang kebetulan atau mungkin kejebak sampai akhirnya ketemu tulisan randomku ini.

Eh, gak random juga sih.

Jadi begini..

Aku hobi baca buku, terutama novel. Dan dari beberapa novel yang aku punya, ada satu judul yang kebetulan baru saja diangkat menjadi film layar lebar yang sukses menyedot perhatian hingga lebih dari 6 juta penonton. Dilan 1990.

Sebelum cerita tentang filmnya, aku mau sedikit cerita awal mula aku tahu novel Dilan, Film Dilan, sampai ngebet pengen nonton Dilan dan dibuat bangga sama Iqbaal yang memerankan tokoh Dilan.

Tahun lalu, sempat beberapa kali direkomendasikan teman-teman untuk baca novel Dilan. Saat itu aku sama sekali gak tertarik sama 3 novel karya Pidi Baiq itu. Gak tahu kenapa.

Sampai tiba-tiba aku dapat ebook novel Dilan seri 1 sampai 3. Gak aku baca juga.

Aku dengar Dilan 1990 akan difilmkan dengan pemeran yang masih dirahasiakan. Banyak yang bilang kalau yang akan memerankan Dilan itu Jefri Nichol, melihat adanya postingan Nichol saat itu yang sedang berpose dengan Vanesha yang memang sudah diketahui akan memerankan Milea.

Banyak juga komentar dan postingan dari netizen yang menyuarakan keantusiasan mereka terhadap rencana akan difilmkannya novel Dilan. Dan itu sukses membuat aku penasaran, seperti apa sih si Dilan itu?

Aku bukalah ebook yang sempat kusimpan dulu. Dilan 1990. Aku baca, dan kalau boleh aku katakan, aku jatuh cinta pada lembar pertama yang kubaca. Kalimat yang terasa natural dan mengalir itu sukses bikin aku senyum-senyum saat membaca kalimat per kalimat. Saat itu juga, aku bilang, "Aku harus punya novelnya.".

Ku belilah tiga-tiganya. Kubaca ulang dari buku pertama sampai ketiganya selesai. Dan rasanya mungkin sama seperti orang lain yang sudah lebih dulu jatuh cinta sama si Dilan ini, aku tak sabar menunggu filmnya tayang, yang padahal saat itu baru gosip-gosipnya saja yang terdengar.

Beberapa bulan menjelang pergantian tahun, sempat diadakan kuis untuk menebak siapa yang memerankan Dilan. Awalnya kukira Nichol, tapi melihat sosok yang wajahnya tersembunyi dibalik buku bersampul biru itu, aku kira dia bukan.



Aku tebak, itu Iqbaal. Tapi ada juga beberapa yang menebak itu Gusti Rayhan.

Dan ternyata benar, dia Iqbaal Ramadhan atau yang lebih kita kenal Iqbaal CJR.

Jujur, awalnya ragu dengan kemampuan Iqbaal memerankan sosok Dilan. Tampang Iqbaal terlalu polos untuk memerankan Dilan yang karakternya 'badboy', kupikir. Dan ternyata banyak yang berpendapat sama denganku. Aku dan mereka berpikir kalau Iqbaal kurang cocok memerankan Dilan.

Tapi tidak sedikit juga mereka yang setuju bahkan mendukung penuh. Kupikir mereka begitu karena mereka fans Iqbaal, dan gak tahu atau mungkin belum pernah baca Dilan 1990.

Ah, biarkan saja, terserah mereka. Kita tunggu saja sampai filmnya selesai, tayang, dan kita lihat berhasilkah Iqbaal memerankan Dilan.

Dan tepat pada 25 januari 2018, Dilan 1990 resmi tayang di seluruh bioskop di Indonesia. Sayangnya aku gak bisa nonton langsung hari itu juga. Jadi aku hanya menyimak komentar mereka yang sudah menonton saja.

Boleh ku bilang respon mereka positif. Kata mereka Iqbaal berhasil memerankan sosok Dilan. Dan kembalilah aku dihantui rasa penasaran. Aku harus nonton filmnya.

Kemarin, aku nonton film Dilan 1990.

Setiap adegan berhasil bikin aku dan penonton lain tersenyum. Film ini berhasil mengingatkan aku pada masa sekolah dulu. Adegannya natural, sederhana, tapi manis sekali.

Film Dilan 1990 ini benar-bebar film yang diadaptasi dari novel. Adegan, dialog, seting dan alurnya sama persis dengan yang tertulis di novel. Tidak seperti beberapa film lain yang juga diadaptasi dari novel, mereka cenderung berbeda dengan aslinya. Ada adegan yang dikurangi, ditambah, atau bahkan diubah. Nah, di film Dilan ini, kamu akan benar-benar melihat sebuah novel dalam bentuk film.

Kepuasan aku terhadap film ini tak lepas dari para pemainnya yang berhasil memerankan tokohdari para pemainnya yang berhasil memerankan tokoh dengan baik. Terutama Iqbaal yang sempat aku ragukan untuk memerankan Dilan. Akting Iqbaal disini terlihat natural, darah sunda yang dimilikinya ternyata sukses membuat sosok Dilan ini hidup.

Kalimat-kalimat ajaib Dilan yang sempat kupikir tak akan cocok jika Iqbaal yang mengatakan ternyata salah besar. Iqbaal berhasil menjadi sosok Dilan yang pembawaannya kalem kalau ketemu Milea, sangar kalau bertengkar dengan Anhar, manis dengan kata-kata uniknya yang terdengar puitis.

Good job, Bale 👍 selamat, kamu berhasil membungkam mulut kami yang sempat meragukan kamu. Kamu berhasil membuat aku dan juga banyak orang lainnya jatuh cinta sama kamu, Iqbaal dan Dilan.

Tidak hanya Iqbaal, Vanesha juga berhasil menjadi sosok Milea. Ayah Pidi memang tidak salah memilih kamu, Sha.

Intinya, aku suka novel Dilan, aku suka film Dilan, aku juga suka Iqbaal jadi Dilan.

Jangan gampang menilai orang lain.

Tampang polos bukan berarti gak bisa meranin badboy, ya Bal? 😅

Terakhir, semoga film Dilan 1990 ini bisa menjadi inspirasi untuk dunia perfilman Indonesia. Juga menjadi pemacu untuk para pecinta sastra dalam membuat karya yang nantinya InsyaAllah jadi harta untuk bangsa kita.

Sukses selalu untuk Iqbaal, ditunggu aktingnya di Dilan 1991. Proud of you 👍

Rabu, 02 Maret 2016

Lelah

Dia bukan matahari. Yang setiap harinya menyinari bumi tanpa lelah. Tanpa berharap ia kembali disinari. Meski kadang sinarnya tak lagi begitu terang terhalang awan hitam.

Ia hanya gadis biasa. Yang hatinya punya sisi egois untuk ingin menjadi satu-satunya yang dilihat. Yang sebagian hatinya sangat rapuh diterpa luka.

***

Aku menghentikan langkahku. Sebuah gedung besar berwarna putih memenuhi pandanganku. Lalu lalang orang tak lagi kuhiraukan. Tak peduli meski kini aku berdiri diam menghalangi jalan. Yang aku tahu, di dalam sana ada seseorang yang sangat ingin kutemui.

Putaran kejadian-kejadian di waktu yang telah berlalu seakan menjadi sebuah lorong yang terus kulalui seiring langkahku yang semakin cepat. Gemuruh emosi yang seakan siap meledak sebisa mungkin kutahan. Membuat nafasku sedikit memburu.

***

Seperti biasa, setiap pagi sebelum memasuki kelas, tepatnya disebuah pintu didekat tangga aku akan berhenti cukup lama. Untuk apa? Itu adalah kelas Rio. Pemuda yang berhasil merebut hatiku sejak pertama kali kita bertemu. Tepatnya sejak 3 tahun yang lalu.

Aku melongokkan kepalaku diambang pintu yang terbuka itu. Dapat kulihat dibangkunya yang berada dibarisan kedua sebuah tas hitam tersimpan disana. Dia sudah datang.

Aku tersenyum. Meski kadang Sivia -sahabatku- sering sekali mengomeliku akan kebiasaan yang menurutnya kurang kerjaan itu, tapi aku tetap melakukannya. Setiap hari. Setidaknya aku tahu, dia ada disekolah. Bukan apa-apa, meski Rio selalu mengabari lewat sms atau telpon, menurutku tidak ada salahnya kan membuktikannya langsung.

Bukannya aku tidak percaya Rio. Tapi dengan begitu setidaknya aku bisa lebih meyakinkan diriku sendiri kalau dia ada.

"Ah."

Aku tersentak kaget saat membalikkan badanku. Seseorang tengah menatapku jengah. Tangannya yang terlipat di dada juga gelengan kepalanya, aku sudah tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Ify..ify.. bener-bener kurang kerjaan ya lo."

Tuh kan.

***

Pintunya sudah terlihat. Tapi apa yang kulakukan? Aku malah memelankan langkah kakiku.

***

"Rio hubungin lo?"

Aku menggeleng sambil terus mengamati setiap pergerakan seseorang dibawah sana yang tengah menggiring bola. Rio.

Sivia mendesah pelan.

"Tuh anak maunya apa sih?"

"Mungkin sibuk."

Sivia menatapku tak percaya.

"Apa? Sibuk?"

Sudah berhari-hari ini Rio tak memberi kabar. Setiap pagi, aku juga tak menemukannya dikelasnya. Biasanya, kalau tak bertemu di pagi hari, jam istirahat dia akan memintaku menemuinya di kantin. Tapi akhir-akhir ini, tidak sama sekali.

Sivia berkali-kali menyuruhku menemui Rio dikelasnya. Namun aku menolak. Seperti yang kubilang tadi, mungkin saja dia sedang sibuk.

"Kalo si Alvin kayak gitu, udah gue susulin tuh ke rumahnya."

"Itu kan lo."

Aku masih mengamati Rio. Gerakan lincahnya, wajah seriusnya, juga tawa bangganya saat ia berhasil memasukkan bola ke gawang, sungguh pemandangan yang tak pernah bosan kulihat.

"Samperin gih."

"Yes. Masuk."

Sivia membulatkan matanya sambil menggeleng. Ditepuknya kening berponi itu dengan cukup keras.

***

Aku sudah berdiri tepat didepan pintu bertuliskan tiga deret angka yang sama sekali tak penting untuk kulihat saat ini.

Aku memegang handle pintu yang terasa dingin itu. Lalu melepasnya lagi.

***

"Eh lo tau gak, si Rio kemaren jalan sama Dea."

"Udah putus ya sama Ify?"

"Mungkin. Tapi cocok deh."

Aku terdiam. Kulirik dua anak tadi yang langsung saja memilih pergi saat aku menghentikan langkahku didekat mereka.

Dea?

**

"Dea itu adik kelas kita yang sempat jadi junior lo di ekskul drama kan?"

Aku mengangguk.

Sungguh. Aku tak bercerita apapun yang kudengar tadi pada siapa pun. Tapi Sivia tiba-tiba saja menanyakan hal -yang juga masih kupertanyakan- itu. Dengan hebohnya dia menarikku keluar kelas dan mulai mengintrogasi.

"Kok lo diem aja?"

"Emang gue harus apa? Mungkin aja kebetulan ketemu."

Sivia memijat keningnya pelan.

"Lo tuh..."

"Vi, gak usah mikir yang nggak-nggak dulu sebelum lo liat langsung dan tau yang sebenarnya."

"Terserah deh." Ujar Sivia pelan.

Perlahan dia merangkulku, mengajakku kembali masuk kelas.

***

Aku terduduk dibangku tunggu. Memastikan hatiku sekali lagi. Menguatkan agar segala emosi tak menguasaiku.

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Sementara aku masih menunggu Sivia yang masih membereskan tasnya di dalam.

Kusandarkan punggungku pada pagar pembatas koridor. Sambil sesekali mengusap keringat yang jatuh didahiku. Aku memutar badanku menghadap kelapangan dibawah sana yang ramai dengan mereka yang bersiap pulang. Tak lama Sivia keluar.

"Yuk, Fy."

Aku mengangguk lalu mengekor Sivia yang berjalan didepanku.

Mataku tak henti mengamati lapangan dibawah sana. Siapa tahu ada Rio. Ya. Dia masih belum menghubungiku. Malah kini setiap pagi tasnya pun tak terlihat dimejanya.

Aku kembali mengusap keningku. Namun pergerakanku tertahan saat mataku menangkap seseorang yang kucari tengah berjalan dibawah sana. Dia tidak sendiri. Dia bersama seorang gadis.

Aku menyipitkan mataku. Langkahku terhenti. Nafasku memburu. Tanganku mendingin. Itu Rio, bersama... Dea.

Sivia yang menyadari aku tak lagi mengikutinya lantas kembali.

"Ada apa?"

Aku diam. Masih menatap dua anak itu yang tengah tertawa. Dan, apa itu? Dea tersipu malu. Apa yang Rio katakan?

"Fy?"

Sivia mengerutkan kening lalu mengikuti arah pandangku. Dia menghela nafas.

"Udah. Kita pulang ya." Ajaknya sambil mengelus bahuku.

"Ternyata benar, Vi."

***

Aku menunduk. Mengingat semuanya. Ya, semua. Tentang rasa sakit yang tak pernah Rio tahu.

***
"Emang iya?"

"Wah. Parah ya si Dea."

"Lo gak tau sih.."

Aku mengerutkan kening saat melewati koridor sekolah. Ada apa sih?

Aku menghampiri Sivia yang sepertinya baru saja tiba dikelas.

"Vi..."

Sivia membalikkan badannya sebelum aku meneruskan perkataanku.

"Ify lo gak apa-apa?"

Aku semakin mengerutkan kening. Ada apa sih dengan semua orang pagi ini?

Aku menggeleng.

"Syukurlah."

"Emang ada apa sih? Tadi di depan, anak-anak pada ngomongin Dea. Emang Dea kenapa?"

"Ng..nggak kok. Yuk duduk."

Aku berdecak. Aneh.

"IFYYY..."

Baru saja aku berniat duduk, Zahra memanggilku dengan suara khasnya.

"Ada apa?"

"Lo tau gak?" Tanyanya sambil duduk di kursi didepanku. Aku mengerutkan kening. Aku melirik Sivia yang menunduk.

"Si Rio, Fy. Rio pacar lo."

Rio? Rio kenapa?

"Lo tau, Rio masuk rumah sakit gara-gara berantem sama Sion."

Apa?

"Dan lo tau karena apa? Karena Dea. Mereka ngerebutin si Dea."

Aku diam. Apa yang harus aku rasakan saat ini? Marah? Sedih? Atau apa?

Aku melirik Sivia yang masih saja menunduk.

"Lo..udah tau kan, Vi?" Tanyaku dengan gemetar.

Bayangkan jika orang yang kamu sayangi terluka. Meski karena wanita lain, tapi apa hatimu sanggup marah?

"Maaf."

Aku memejamkan mataku. Mengusir sesak yang kian terasa.

"Ke..kenapa lo gak bilang?"

Sivia tak menjawab. Dia memelukku erat. Lama sekali hingga yang kudengar adalah isakan kecil penuh sesal.

"Gue gak mau lo terluka."

Bahkan bukan Rio yang menjaga hatiku saat ini. Malah dia sendiri, orang yang kujaga hatinya, yang melukai hatiku.

***

"Bukan sekali dua kali aku mendengarnya, Yo." Lirihku sambil menatap pintu putih didepanku.

Aku menunduk sambil memijat pelan keningku. Apa yang harus ku katakan nanti saat bertemu Rio? Haruskah aku kembali bertahan? Atau...menyerah?

***

Sivia memegang bahuku yang terasa lemas. Tidak. Aku tidak menangis. Tangisanku tadi sudah kuhapus segera setelah aku sadar bahwa tangisan itu tak akan ada artinya. Aku memang sedih, buat apa aku menangis?

"Lo..."

"Gue baik-baik aja, Vi."

Sivia menghela nafas. Mungkin dia lelah menghadapi sifatku ini. Tapi kembali lagi, setiap orang punya pegangan tersendiri didalam hatinya. Dan mungkin ini adalah peganganku. Percaya.

"Lo berhak marah, Fy." Ujarnya pelan.

Aku menoleh sambil tersenyum tipis.

"Marah? Buat apa?"

Aku sendiri bingung. Kenapa rasanya sulit?

Sivia menarik tanganku agar aku menghadapnya. Ia tersenyum.

"Kalo lo mau, lo bisa pergi sekarang buat nemuin Rio."

Aku mengerutkan kening.

"Lo gak bakal bisa belajar dengan keadaan kayak gini kan?"

Aku menghela nafas. Mungkin benar. Aku harus pergi menemui Rio. Walaupun aku tak tahu harus apa nanti didepannya.

Aku mengambil tasku lalu beranjak dari tempat dudukku. Sivia mengantarku hingga sebuah taksi berhenti tepat didepanku. Aku kembali menatap Sivia. Aku bisa lihat dia mengangguk meyakinkanku.

Dan dengan pasti, aku pergi. Menemui dia yang kalah dalam pertarungan memperebutkan seorang putri. Ya. Putri yang baru.

***

Aku memejamkan mata saat pintu yang kudorong pelan itu sedikit berdecit. Membuat seseorang yang tengah berbaring disana menoleh dan tersenyum.

"Fy.."

Aku tersenyum sambil melangkah mendekatinya.

"Gimana? Udah baikkan?"

Rio tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Aku menggeser kursi disebelah ranjang Rio agar lebih dekat lalu kududuki.

Kuamati sosok pemuda dihadapanku yang entah kenapa terasa seperti bukan lagi Rio yang ku kenal. Lebam diwajahnya juga perban dipergelangan tangan kirinya membuat aku merasa..bodoh. Seakan semua benda diruangan ini seolah menertawakanku. Lihatlah bahkan Rio rela terluka demi gadis lain, bukan untukku. Gadisnya.

Aku menunduk.

Bukan. Bukannya aku ingin Rio terluka demi membelaku. Aku hanya ingin Rio melihat ke arahku saja. Paling tidak untuk saat ini. Saat aku masih terikat oleh permintaannya 3 tahun lalu.

"Fy?"

Aku mendongak. Sejenak kuatur kembali emosiku.

"Aku min.."

"Kamu belum makan kan? Makan dulu ya."

Dengan cepat aku memotong ucapan Rio. Aku tahu pasti apa yang akan ia katakan. Dan itu bukan kata yang aku ingin dengar saat ini.

Aku mengambil semangkuk bubur di meja samping ranjang Rio. Setelah membantu Rio duduk, segera aku menyuapinya.

Beberapa suapan berlalu tanpa ada yang bersuara. Rio diam. Aku diam. Dan Rio pasti tahu, diamnya aku bukan tanpa alasan.

"Mana dia?" Tanyaku membuat Rio sedikit tersentak.

"Mungkin dia lagi merasa terbang ya sekarang." Lanjutku diikuti tawa hambar.

Aku tahu Rio saat ini tengah menatapku. Tapi aku lebih memilih menatap bubur ditanganku sambil sesekali mengaduknya.

"Bahkan dia menghilang sekarang." Aku menghela nafas.

Aku menyodorkan kembali sesendok bubur pada Rio yang kali ini ia balas dengan gelengan kepala.

"Sekali lagi."

"Udah kenyang, Fy."

Aku mendesah. Alasan.

Tanpa sadar aku sedikit membanting sendok yang kupegang sambil menaruh kembali mangkuk tersebut ke meja.

Aku melipat tanganku didepan dada sambil memalingkan wajah ke arah mana saja asal bukan ke arah Rio.

"Maafin aku."

Aku memejamkan mata.

"Aku salah. Sangat salah."

Dari nadanya saja aku tahu, dia bersungguh-sungguh. Tapi tetap saja, aku terluka. Aku menunduk.

Tanpa bisa kutahan lagi, aku menangis. Isakan kecil mulai jadi latar ruangan berbau obat ini.

"Bisa gak..kamu nggak mengiyakan semuanya?" Tanyaku dengan suara bergetar.

"Bukan sekali dua kali aku dengar, Yo."

Aku memberanikan diri menatap Rio walau pandanganku kini berkabut. Dari pancaran matanya aku lihat penyesalan itu ada. Tapi apa arti sebuah penyesalan?

Meski sebagian hatiku menyayanginya, sebagian lagi terlanjur hancur karenanya.

"Aku nyesel, Fy. Maafin aku." Ujar Rio. Kali ini sambil menarik lembut tanganku. Dan entah dorongan dari mana, aku menepisnya. Membuat Rio menghela nafas.

"Aku capek, Yo."

Rio membulatkan matanya.

"Aku capek kalo harus bertahan lagi."

"Fy..."

"Makasih buat semuanya, Yo."

"Tapi Fy.. maafin aku.."

Tanpa menatapnya lagi aku segera berdiri. Meski sebagian hatiku memaksa untuk menatapnya, aku tetap pada pilihanku. Aku pergi.

"Fy.." panggil Rio lagi saat aku hampir diambang pintu. Tangisku kembali luruh.

"Ify..aww.."

Aku tersentak. Aku menoleh mendapati Rio yang tengah kesakitan memegang lengannya. Aku hampir kembali berlari menghampirinya. Namun sekali lagi aku menegaskan, aku pergi.

"If.."

Aku sedikit kaget saat keluar dari ruangan Rio dan mendapati seorang gadis menatapku lekat. Dia Shilla, kakak Rio.

"Ify? Kenapa?" Tanyanya.

Ditanya begitu tangisku semakin menjadi. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung memeluknya. Menumpahkan segala kesedihan juga kekecewaanku pada gadis yang sudah kuanggap kakakku sendiri itu.

Mendengar isakanku yang semakin menjadi, Shilla segera mengelus punggungku. Dan yang baru aku sadari, bahu Shilla juga sedikit berguncang.

"Maafin Rio, Fy .."

***

Aku hanya ingin kau menyangkalnya. Setidaknya aku tahu, kemungkinan itu masih ada. Tapi apa yang kau lakukan? Kau membenarkannya.

Aku hanya ingin sisi egoisku terpenuhi meski sebentar saja. Setidaknya saat kau masih jadi milikku.

Maaf? Jauh sebelum kata itu kau ucap, aku sudah memaafkanmu. Bagiku, kata maaf sama sekali tidak sulit. Apalagi untuk orang yang kusayang sepertimu.

Namun kali ini, cukup sampai disini. Karena aku sudah lelah.

***QF***

Halooo.. ketemu lagi sama tulisan isengku..hhe maaf kalo cerita, alur, atau bahasanya agak gimana gitu ya, maklum saja lah ya namanya juga iseng.. :v cerpen ini aku post di fb juga lho..

Tapi buat kalian yg gak sengaja nemu tulisan aku ini, jangan lupa baca dulu ya..hhe abis itu mampir deh di kolom komentar di bawah.

Oke see you in other story guys, keep reading !!

Selasa, 16 Februari 2016

once

Ingatkah kamu,
Dulu kita pernah berlari diantara daun yang melambai,
Dibawah langit dengan awan yang berarak,
Diantara terpaan angin,
Berhiaskan tawa yang tergelak bebas..

Kamu dengan mata berbinarmu,
Juga tawa yang tak pernah bisa kulupa.
Dengan riang kau tarik lembut tanganku,
Menuntunku berlari melawan angin,
Terbang diantara letupan bahagia.

Berlari,
Berputar,
Menari,
Melawan terik siang itu..

Aku,
Kamu,
Dia,
Dan persahabatan kita.

QF - 17022016

Sabtu, 30 Januari 2016

Bersama Angin (cerpen)

Bersama Angin

Sore itu, aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Dengan langkah gontai aku keluar dari gedung bercat putih pucat itu. Sejak keluar dari pintu tadi, mataku terus melihat ke sekelilingnya yang baru aku sadari ternyata begitu padat dengan kendaraan. Tak seperti biasanya.

Aku mencari seseorang. Iya, seseorang yang kata Ibuku sudah meminta izin untuk menjemputku hari ini pada beliau. Aku sedikit tersenyum saat membaca pesan dari Ibuku tadi. Ternyata dia masih sama.

Aku berhenti sejenak sambil merapikan cardigan yang sempat tertiup angin. Kembali kulihat sekelilingnya. Dan itu Dia. Ya, Dia. Dia yang selama beberapa bulan lalu menjadi warna baru dalam kehidupanku. Dia yang selalu membuatku merindu. Dia yang sempat memiliki hatiku. Dan juga, Dia yang beberapa minggu lalu kupatahkan harapannya untuk hidup bersamaku.

Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya, lantas mempercepat langkah untuk menghampirinya.

"Hai. Udah lama?"

Dia menggeleng.

"Nggak terlalu." Aku mengangguk sambil memainkan ujung cardiganku.

"Pulang sekarang?" Tanyanya. Aku kembali mengangguk sambil menaiki motor merahnya. Seperti biasa, dia akan melirikku sebentar untuk memastikan aku sudah duduk dengan benar. Tak lama, kami pun meninggalkan tempat itu dan siap membelah jalanan yang cukup padat sore itu.

Untuk beberapa lama, tak ada satu pun kata yang terlontar, baik darinya atau pun dari mulutku sendiri. Aku cukup bingung untuk memulai obrolan. Dan dia tahu pasti, pasalnya aku memang tak pandai untuk membuka suatu obrolan. Akhirnya dia berdeham memecah kediaman itu.

Aku yang saat itu tengah memejamkan mata menikmati angin yang menerpa wajah lelahku langsung membuka mata. Aku bisa melihat dia melirikku lewat spion kirinya.

"Mau langsung pulang?" Tanyanya.

Jujur. Aku sedikit menahan senyum saat ia bertanya seperti itu. Kenapa kedengarannya seperti supir pribadi?

"Iya." Jawabku sambil mengangguk.

"Cape ya?"

"Sedikit."

"Yaudah. Nanti pulang langsung istirahat. Jangan tidur malem-malem."

Mendengar nada lembutnya seperti tadi, kenapa rasanya ada yang sakit disini.

"Iya."

Dia mengangguk lalu tersenyum. Dan keadaan kembali seperti beberapa saat sebelumnya. Hanya suara bising kendaraan di sisi kanan-kiri juga hembusan angin yang terasa begitu kencang yang terdengar.

"Emm..kak?" Tanyaku ragu. Aku sengaja memelankan suaraku saat menyebut kata sapaan itu.

Kata sapaan yang sempat terganti dengan kata lain saat kami masih 'bersama' itu, dulu sempat membuat aku dan dia terlibat dalam sebuah pertengkaran kecil. Menurutnya, kembalinya sapaan itu seakan memperjelas hubungan yang telah berakhir itu. Seolah menjelaskan bahwa kata 'kita' itu kini kembali menjadi 'aku' dan 'kamu'. Dan aku memang lebih suka kata itu. Rasanya lebih pantas untuk hubungan aku dan dia. Setidaknya menurutku.

"Kenapa?" Tanyanya. Bukannya aku tak tahu, aku sempat mendengarnya menghela nafas sebelum bertanya.

"Apa gak ngerepotin kakak jemput aku?"

"Nggak. Kakak dari rumah temen yang kebetulan deket sama tempat kamu kerja. Jadi sekalian aja."

Aku mengangguk. "Makasih ya."

Dia hanya tertawa. Sungguh. Aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Mendengar tawanya diantara hembusan angin berlatar langit yang memerah.

Beberapa kali aku memejamkan mata sambil tersenyum. Aku tahu dia pasti menertawakan tingkahku yang pasti terlihat dari spionnya. Tapi tak apalah.

"Kamu seneng banget kayaknya?" Dia sedikit menoleh kebelakang.

Aku terkekeh. Malu tepatnya.

"Kamu sayang sama kakak?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku tak ingin memberinya harapan palsu dengan menjawab 'iya'. Tapi..

"Huh?"

Ternyata dia masih menunggu jawabanku.

"Iya."

"Iya apa?"

"Iya..sayang." Jawabku pelan.

"Kalo sayang kenapa gak ma.."

"Tapi sebagai kakak." Aku memotong ucapannya dengan cepat.

Dia terdiam. Tak melanjutkan ucapannya. Aku merasakan pundaknya yang kini aku jadikan pegangan sekidit turun seiring terdengarnya helaan nafas lelah dari mulutnya.

"Aku memang sayang sama kakak. Tapi sebagai seorang adik pada kakaknya."

Aku memejamkan mata sejenak.

"Sejak kenal kakak, aku merasa punya pelindung."

Tak peduli dia yang masih saja diam, aku tetap berbicara. Aku tak peduli jika dia heran kenapa aku jadi sebawel ini. Aku tak peduli dia tak suka dengan apa yang kubicarakan. Yang jelas aku tahu, dia mendengarkanku.

"Untuk itu aku gak pernah mau saat kakak minta aku untuk jadi pacar kakak lagi."

Dan kali ini ia kembali bersuara.

"Lalu dulu kenapa kamu mau?"

"Iya. Aku memang mau. Tapi akhirnya aku sadar, semua itu bukan karena cinta."

"Jadi kamu cuma nyoba. Kamu tega putusin semuanya. Apa kamu gak mikirin aku?"

Aku menggigit bibir. Menahan emosi yang berupa air mata itu untuk tidak jatuh.

Aku menggeleng.

"Justru aku mikirin kamu. Aku gak mau nyakitin kamu lebih lama."

"Maaf." Lirihku.

Aku diam.

Dia diam.

Satu hal yang aku tahu saat ini. Semua memang sudah berakhir. Sekarang semuanya berbeda. Dan aku ingin dia juga tahu itu.

Angin kembali memenangkan suasana sore itu. Keheningan juga melayangnya pikiranku -dan mungkin dia- terus mengisi sisa perjalanan kami. Hingga akhirnya motor itu berhenti.

Ibuku yang sempat menyambut kami didepan pintu telah kembali masuk setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih dan sedikit berbincang dengannya. Dan kini kembali tinggal hanya aku dan dia.

Ia menatapku dalam diam. Aku sempat membalas tatapan itu sejenak. Mungkin hanya beberapa detik. Karena selanjutnya aku lebih memilih untuk menunduk menatap ujung sepatu pink-ku.

"Kakak pulang dulu ya."

Aku memejamkan mataku saat aku merasakan dengan jelas ia mengelus puncak kepalaku pelan. Kebiasaan itu?

Aku mengangguk sambil mencoba menatap wajahnya. Dia tersenyum.

"Makasih kak."

Masih dengan senyumnya ia mengangguk.

"Iya. Sama-sama...Dek."

Aku tersentak.

Dek?

Kenapa aku merasa satu organ terpeka dalam tubuhku seperti dicubit mendengar ia memanggilku 'Dek'? Bukankah itu yang aku mau?

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Mengamatinya hingga ia tak lagi terlihat dari pandanganku. Aku mendesah. Ternyata benar. Dia memang sudah menjauh. Sangat jauh.

Sore itu. Semua cerita. Semua kenangan. Semua mimpi dan harapan. Perlahan menjauh. Hilang. Bersama angin.

***

The first story by QueenFitri :) thanks for reading and give your comment please :)